oleh

Meliana Korban Kebencian Akut Umat Muslim Terhadap Akrobat Politik Ahok dan Jokowi di Metropolitan

Meliana Korban Kebencian Akut Umat Muslim Terhadap Akrobat Politik Ahok dan Jokowi di Metropolitan

Oleh: Natalius Pigai

(Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Peristiwa Meliana, Tanjung Balai, 2016)

Meliana dan Alkisah Peyerangan dan pembakaran di Tanjungbalai pada 29 Juli lalu, sekitar satu minggu sebelumnya, Meliana (41) warga Jalan Karya, Tanjungbalai, berbelanja roti ke warung tetangganya milik Uwo (47).

Saat itu Meliana menyampaikan keberatan mengenai suara azan dari Masjid Al-Makshum yang berlokasi di depan rumahnya. Meliana menilai suara azan itu lebih keras dibandingkan waktu sebelumnya.

Dia menyampaikan keluhannya itu karena ayah Uwo, Kasidi, adalah nadzir masjid. Meliana berharap keberatannya itu disampaikan kepada pengurus masjid. Keberatan Meliana disampaikan Uwo kepada adiknya, Hermayanti (40) dan diteruskan kepada Kasidi.

Pada 29 Juli, usai salat magrib berjamaah sekitar pukul 19.00 WIB, Kasidi menyampaikan keberatan Meliana itu kepada pengurus dewan kesejahteraan masjid, Dailami, disaksikan beberapa jemaah masjid. Setelah menerima informasi itu, mereka berkunjung ke rumah Meliana untuk mengklarifikasi.

Pada saat klarifikasi itu, terjadi perdebatan antara pengurus masjid dengan Meliana. Debat itu mengundang keingintahuan warga sekitar.

Pengurus masjid lalu kembali ke masjid yang kemudian disusul suami Meliana. Dia meminta maaf atas adanya perdebatan istrinya dengan pengurus masjid.

Setelah salat isya sekitar pukul 20.00 WIB, ternyata jumlah massa di sekitar rumah Meliana bertambah banyak. Kepala kampung setempat memutuskan agar permasalahan tersebut diselesaikan di kantor Kelurahan. Kedua belah pihak yang berselisih berkumpul di sana.

Namun, isu yang beredar pada saat itu berubah. Ada warga etnis Tionghoa yang melarang azan, mematikan speaker masjid, sehingga jumlah massa yang mendatangi rumah Meliana dan kantor kelurahan semakin bertambah banyak.

Sekitar pukul 21.00-23.00 WIB, terjadi mediasi dan dialog terkait permasalahan tersebut. Mediasi dilakukan di kantor kelurahan Tanjungbalai Kota I, kantor Kepolisian Sektor Tanjungbalai Selatan, kantor Kepolisian Resor Tanjungbalai.

Hasil mediasi, Meliana dan keluarga telah meminta maaf atas ucapannya yang keberatan dengan suara azan di Masjid Al-Makhsum yang dinilai terlalu keras.

Tak disangka, pada pukul 23.00 WIB, massa yang terus bertambah dan diperkirakan mencapai seribu orang melampiaskan kemarahannya dengan melakukan penyerangan, pengrusakan, dan pembakaran terhadap rumah milik Meliana dan rumah ibadah di kota itu. Kejadian itu berlangsung hingga pukul 03.00 WIB, Sabtu dini hari.

Akibatnya, ada sekitar 15 bangunan yang mengalami pengrusakan dan pembakaran, yang terdiri dari wihara, klenteng, bangunan yayasan, dan rumah Meliana.

Korban Distorsi Informasi

Komunikasi antara Meliana dengan Uwo, serta komunikasi lanjutan antara Uwo dengan Heriyanti, dan Kasidi merupakan kata-kata verbal yang tidak bertendensi negatif serta tidak dimaksudkan atau didasarkan pada rasa kebencian terhadap etnis dan agama tertentu.

Pasca-peristiwa penyerangan dan perusakan rumah ibadah di Tanjungbalai, Sumatera Utara tahun 2016. Saya memimpin Tim Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan pemantauan dan penyelidikan ke lokasi kejadian guna menggali data, fakta dan informasi yang akurat.

Dari hasil penyelidikan ditemukan fakta bahwa terjadi distorsi informasi yang dilakukan dan disebarkan oknum tertentu yang tidak bertanggungjawab.

Distorsi informasi tersebut dilakukan sebagai upaya provokasi untuk memancing amarah kelompok tertentu. Provokator itu ingin agar suatu kelompok membenci kelompok lain.

Saya menemukan fakta bahwa ada informasi yang didistorsi dan disebarkan oleh oknum tertentu sehingga menimbulkan aksi perusakan Wihara dan Klenteng di Tanjung Balai yang jumlahnya mencapai 15 buah. Fakta ini saya sampaikan di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (11/8/2016).

Peristiwa Meliana ini bermula sekitar seminggu sebelum kejadian, seorang warga Tanjungbalai, Meliana, menyampaikan keberatan mengenai suara adzan dari Masjid Al-Makshum kepada tetangganya.

Keberatan itu pun disampaikan kepada Kasidi, seorang Nadzir Mesjid Al-Makshum dengan harapan bisa disampaikan ke pengurus masjid.

Meskipun Meliana meminta maaf atas keberatan yang dia sampaikan. Namun isu yang beredar saat itu bahwa ada warga etnis Tionghoa yang melarang Adzan dan mematikan speaker masjid.

Sesunggunya keberatan yang disampaikan Meliana tidak dimaksudkan untuk menyebar kebencian etnis dan agama. Apa yang disampaikan oleh Meliana, merupakan kata-kata yang tidak memiliki tendensi negatif dan tidak didasarkan pada rasa kebencian terhadap agama tertentu.

Kelemahan Intelijen Keamanan

Sebenarnya Meliana maupun perusakan rumah ibadah tidak mungkin menjadi korban kerusuhan pada Sabtu 29 Juli 2016 jika penanggung jawab keamanan mampu membendung rantai komunikasi dan mengorganisir kekuatan internal aparat keamanan di Kota Tanjung Balai. Apalagi peristiwa tersebut terjadi 6 hari sebalum kerusuhan. Bisa dibayangkan ada rantai informasi yang mengandung kebencian SARA selama 1 minggu tidak bisa dideteksi oleh aparat intelijen. Demikian pula kekuatan aparat keamanan juga kurang menandai karena Kota Tanjung Balai adalah kota Paling kecil se Sumatera utara sehingga bantuan kekuatan keamanan harus membutuhkan bantuan personil dari Kabupaten Tetangga.

Pentingnya Reintegrasi Etnis

Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kota Tanjung Balai untuk melakukan reintegrasi sosial antaretnis dan antaragama. Reintegrasi menjadi urgen karena mengingat kerusuhan berbau SARA di Tanjung Balai sudah beberapa kali terjadi. Yaitu, pada tahun 1979, tahun 1989, dan tahun 1998. Proses reintegrasi sosial harus dipimpin oleh pemerintah dengan melibatkan berbagai tokoh masyarakat dan tokoh agama di Tanjung Balai.

Sebelumnya juga pernah konflik antara Melayu dan suku Aceh di Tanjung Balai. Jadi memang Tanjung Balai ini wilayah yang rentan konflik ras dan etnis.

Pengadilan yang sesat

Saya melakukan olah TKP berkali-kali dan mendatangi setiap pelaku dan korban, berbagai elemen masyarakat dan saya belum pernah menemukan seorang wanita keturunan Tionghoa ini pantas dihukum. Namun hari ini, Hukuman terhadap Meiliana dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Wahyu Prasetyo Wibowo pada persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Selasa (21/8). Majelis menyatakan perempuan itu telah melakukan perbuatan yang diatur dan diancam dengan Pasal 156A KUHPidana.

Apakah benar Meliana ini salah? ataukan dia seorang wanita yang menjadi korban amukan akibat kebencian yang akut atas sandiwara politik di metropolitan Jakarta yang melibatkan Ahok dan Jokowi?

Apakah betul dengan apa yang dikatakan Hakim bahwa Meliana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Lantas, menjatuhkan kepada terdakwa pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dikurangi masa tahanan.

Merujuk pada judul opini ini, Saya tetap meyakini pada dugaan hati nurani bahwa peristiwa Meliana adalah hanyalah seorang warga negara kecil keturunan Tionghoa yang menjadi korban kebencian akut umat muslim terhadap Ahok yang menistakan agama dan Jokowi yang menjauhan umat muslim saat itu. I love You Meliana!

Loading...

Baca Juga