oleh

Natalius Pigai: Bangsa Ini Harus Singkirkan Dagang Pengaruh

Oleh: Natalius Pigai. Penulis, Kritikus, Komisioner Komnasham 2012-2017 catatan  dari Lereng Merapi, 18 Oktober 2018 tentang Dagang Pengaruh.

Andaikan Dugaan Korupsi Bakamla di KPK, Keluarga Presiden Joko Widodo Terbukti.

Bangsa ini harus singkirkan Pedagang Pengaruh (Trading in Influence) dalam birokrasi patrimmonial karena nepotis, koruptif dan kolutif!

“Ribuan tahun silam, Hukum Hamurabi di Babilonia pernah hukum Gubernur yang terbukti disuap”

Dagang Pengaruh (Trading in Influence) atau tindakan memperdagangkan pengaruh demi keuntungan pribadi, rekan Bisnis atau golongan dan juga keluarga, merupakan perilaku koruptif yang menyimpang dari etika dan moralitas. Perdagangan pengaruh yang dilakukan oleh para pemangku jabatan, sanak saudara atau kerabat dekatnya adalah para aktor (actor of crimes). Yang kita jumpai dalam negara-nagera dunia ketiga yang pemerintahannya cenderung otoriter, koruptif dan miskin.

Rejim Marcos di Philipina, Rejim Suharto di Indonesia dan sebagian pemimpin dunia ketiga yang secara terang benderang menerapkan birokrasi patrimonial (patron-klien) yang cenderung nepotis, koruptif dan kolutif. Di Indonesia, meskipun kejahatan ini telah berlangsung sejak adanya jaman VOC, namun pada masa orde baru Dagang Pengaruh (trading of influence) telah sukses mengorbitkan para taipan-taipan besar sebagai kelompok oligarki yg menguasai hampir 80% kekayaan nasional.

Bergulirnya reformasi 1998 dengan menumbangkan rejim Suharto, adanya desentralisasi otoritas dalam tata kelola Pemerintahan, keterbukaan informasi, kemajuan demokrasi, perdamaian dan hak asasi manusia belum mampu juga memberi harapan untuk membangun negara bangsa (nation state) Indonesia yang nihil korupsi, kolusi dan nepotisme.

Berbagai kasus penyuapan seperti Lufti Hasan, Ahmad Fathanah, Andi Malarangeng, Irman Gusman, penyuapan perijinan Meikarta ataupun seandainya terbukti di pengadilan atas dugaan keterlibatan keluarga Presiden Joko Widodo dalam korupsi Bakamla telah menyatakan bahwa Dagang Pengaruh (trading of influence ) tetap ada. Meski waktu dan periode silih berganti.

Ada benarnya jika dalam buku Dagang Pengaruh (trading in influence) yang ditulis oleh Jurnalis Televisi Brigita Manohara bahwa Perilaku koruptif adalah korupsi moral (moral coruption) yang telah menua sejak jaman Aristoteles hingga Machiaveli. Dan bahkan di dalam perkembangan hukum dari jaman Mesir, Ibrani, India, China dan juga penerapan hukum Hamurabi di Babilonia terhadap gubernur yang terbukti disuap.

Kejahatan Dagang karena Jabatan harus dilihat sebagai sebuah tindakan perbuatan korupsi yang secara nyata tumbuh dan berkembang di Indonesia, namun sampai saat ini Pemerintah belum menerapkan jenis delik “Trading in Influence” di dalam Undang-undang tindak pidana korupsi. Padahal Undang-Undang Tipikor diadakan sejak tahun 1999 dan revisi terbatas di tahun 2001. Seharusnya ketika Indonesia ratifikasi UNCAC tahun 2003 atau selanjutnya harusnya Pemerintah melakukan penyesuaian melalui revisi terbatas Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Termasuk memasukkan Dagang Pengaruh (trading in influence) sebagai delik kejahatan dengan ruang lingkup yang jelas.

Negara sejatinya mesti lakukan eksplorasi secara mendalam untuk menemukan (eksplorasi) secara ilmiah atas suatu tindakan kejahatan yang tidak pernah terdengar, bahkan asing. Dan tidak banyak (bahkan tidak ada) karya tulis ilmiah yang ditemukan di negeri ini.

Di Indonesia saya baru menemukan Dagang Pengaruh kontribusi Brigita Manohara sebagai pribadi anak bangsa bagi negeri ini. Karena sangat gerah melihat pera pemimpin yang aji mumpung memanfaatkan status dan jabatan untuk memperkaya diri sendiri, sanak saudara dan kroni-kroninya. Sementara tidak sedikit anak rakyat menjerit dan berada dalam kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan.

Hari ini Rakyat Indonesia heboh mendengar pengakuan pengakuan terdakwa mantan anggota Komisi I DPR, Fayakhun Andriadi. Terkait keluarga Presiden Jokowi yang diduga terlibat skandal proyek di Bakamla. Hal itu diungkapkan Fayakhun di muka persidangan ketika jalani pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta. Terkait Pengakuan tersebut juga dibenarkan oleh juru bicara KPK Febri Diansyah. Bahwa Keterangan Fayakhun tersebut memang disampaikan saat pemeriksaan oleh Penyidik, dituangkan di BAP dan dibuka di sidang. Namun Fayakhun tak menyampaikan nama orang yang dimaksud ‘Keluarga Jokowi’ tersebut. VivaNews, Rabu, 17 Oktober 2018.

Terlepas dari sandiwara apa yang akan terjadi dalam proses hukum bahwa di negeri ini. Indikasi keterlibatan keluarga pejabat dalam proyek pemerintah bukan hal baru. Tetapi terlahir, tumbuh dan berkembang, bahkan cenderung menjadi patologi sosial yang terpelihara. Perilaku pongah dan bedebah yang dipertontonkan oleh segelintir elit kekuasaan sebagai komprador oligarky ekonomi menciptakan suatu gurita korupsi.

Adanya simbiose mutualisme antara pasar dan negara sebagaimana disampaikan oleh Keynes, seorang ahli ekonomi atau disebut Keynesian. Tidak hanya sebagai mitra strategis demi kepentingan umum (bonum commune) dan kepentingan negara (et Patria). Tetapi justru kekayaan negara terpupuk di ujung piramida kecil yaitu pemimpin yang jumlahnya kecil.

Dapat dibayangkan dalam 4 tahun Joko Widodo memimpin di negeri ini, kita menghabiskan anggaran mencapai 7.000 Trilyun atau rata-rata 2 Trilyun/tahun, namun orang miskin turun hanya 1 persen dari 10,98 menjadi 9,82 berdasarkan data BPS 2018. Sementara pemupukan pundi-pundi kekayaan orang kaya naik 10% pertahun, dan pengusaha hanya tumbuh 3%.

Kepemimpin hari ini adalah kepemimpinan yang cendrung menjalankan pembangunan tanpa perasaan. Maka tidak heran jika penurunan kemiskinan disebut terburuk sepanjang masa kepemimpinan presiden sejak jaman Suharto. Data data tersebut diatas menunjukkan bahwa pemimpin kita tidak melakukan kewajiban artifisial terkait peningkatan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan juga meningkatkan derajat kesehatan menjadi kewajiban pemerintah (the government obligation to fulfill on human right need).

Jargon revolusi mental sebuah adagium yang enak enak diucap, mudah dilukiskan, namun sulit diwujudkan. Berbagai kasus korupsi yang mendera bangsa ini sebenarnya tidak lain dan tidak bukan hanya untuk memperdagangkan pengaruhnya. Baik oleh dirinya sendiri maupun juga oleh orang sekeling para penguasa karena bisa saja ditopang oleh pola pikir “aji mumpung”. Aji mumpung jika diterapkan dalam pengaruh, maka menjadi sebuah tindakan amoralitas, malas kerja, tidak produktif. Dan tidak ingin berkeringat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Di Negeri ini, semua korupsi dimulai dengan Dagang Pengaruh atau Trading in Influence menjadi persoalan hukum secara serius. Dagang pengaruh sudah sepatutnya disebut sebuah tindakan kejahatan dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) kita.

Loading...

Baca Juga