Pembakaran Bendera Tauhid Berdampak Kebencian Terhadap Islam. Oleh DR H Abdul Chair Ramadhan SH MH, Ahli Hukum Pidana
Pembakaran bendera berkalimat Tauhid oleh anggota Banser di Garut sangat keterlaluan, sungguh biadab dan keji, telah menghina kemuliaan dan kesucian kalimat Tauhid. Bendera berkalimat Tauhid dikatakan oleh pimpinan GP Ansor sebagai bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pernyataan bendera berkalimat Tauhid sebagai bendera HTI juga disampaikan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dalam surat Pernyataan Sikap Tentang Peristiwa di Garut (24/10/2018). Padahal bendera Tauhid adalah “Arrayan” dan “Alliwa” yang merupakan bendera Rasulullah SAW. Jadi bukan milik HTI semata, melainkan milik semua umat Islam.
MUI menyatakan bahwa “dalam perspektif MUI karena tidak ada tulisan ‘Hizbut Tahrir Indonesia’, maka kita mengatakan kalimat tauhid.” (23/10/2018).
Pembakaran tersebut jelas merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP, yang berbunyi : “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”
Terkait dengan alasan yang disampaikan oleh petinggi GP Ansor bahwa pembakaran bendera Tauhid dilakukan untuk menghormati dan menjaga kalimat Tauhid tidak dapat diterima oleh akal sehat dan tidak memiliki alasan pemaaf maupun alasan pembenar menurut hukum.
Faktanya, pembakaran tersebut dilakukan di depan umum dengan diiringi sorakan kegembiraan. Mereka telah mempertotonkan pembakaran tersebut dengan senang dan bangganya. Jika ingin menghormati dan menjaga kemuliaan dan kesucian kalimat Tauhid, secara logika tentunya bukan dengan cara-cara seperti itu. Melainkan diambil untuk kemudian ditempatkan pada tempat yang layak.
Tindakan pembakaran itu sangat terkait dengan aksi swepping sebelumnya oleh GP Ansor melalui Banser diberbagai daerah. Dengan adanya aksi sweeping yang massif dan struktur telah menyebabkan terjadinya pembakaran bendera berkalimat Tauhid.
Dengan lain perkataan, berbagai aksi sweeping yang kemudian berujung pembakaran bendera berkalimat Tauhid adalah satu kesatuan perbuatan.
GP Ansor telah menyalahi ketentuan Pasal 59 ayat (3) huruf d UU Ormas. Yang menyatakan Ormas dilarang melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tidak dibenarkan GP Ansor melalui Banser melakukan tindakan sepihak berupa aksi sweeping. Tidak ada alas hak untuk melakukan hal tersebut.
Serangkaian aksi sweeping yang berujung pembakaran bendera tauhid. Baik langsung maupun tidak langsung telah menimbulkan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap golongan penduduk berdasar agama. Sebagaimana diatur dalam Pasal 156 KUHP. Pasal 156 KUHP adalah delik formil yang tidak mensyaratkan adanya akibat yang ditimbulkan.
Pengikut (massa) HTI adalah umat Islam. Tidak ada pihak yang mengatakan – termasuk MUI – bahwa pengikut HTI bukan termasuk umat Islam. Adapun tentang pembubaran Ormas HTI adalah persoalan lain.
Pasal 59 ayat (3) huruf a Undang-Undang Ormas menyatakan bahwa “Ormas dilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan”. Tindakan permusuhan menurut Penjelasan Pasal 59 ayat (3) huruf a adalah ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi, baik secara lisan maupun tertulis, baik melalui media elektronik maupun tidak melalui media elektronik yang “menimbulkan kebencian”. Baik terhadap kelompok tertentu maupun terhadap setiap orang termasuk ke penyelenggara negara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.
Pemerintah sepatutnya mengambil tindakan terhadap GP Ansor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembakaran bendera berkalimat Tauhid dengan diiringi nyanyian dan sorakan kegembiraan adalah bentuk kebencian terhadap bendera Tauhid yang diklaim sebagai bendera HTI padahal tidak demikian. Kebencian terhadap bendera berkalimat Tauhid adalah kebencian terhadap Islam.
Kasus pembakaran bendera berkalimat Tauhid harus diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Penegakan hukum harus mengacu kepada asas kepastian hukum dan keadilan hukum. Tidak boleh parsial, semuanya berkesamaan dimuka hukum, tanpa ada perbedaan. Hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya.