oleh

Islam, Umat Islam dan Politik Indonesia, Bagian Pertama

Islam, Umat Islam dan Politik Indonesia. Bagian Pertama dari empat Tulisan. Oleh: Tubagus Soleh, Ketum Babad Banten Nasional.

Mengapa partai Islam selalu keok di pemilu? Sejak pemilu pertama tahun 1955 hingga pemilu tahun 2014 partai Islam selalu kalah. Mengapa?

Mengapa partai nasionalis sekuler selalu mendominasi kendali pemerintahan? Mengapa juga partai yang berdiologi mix tidak juga mendapat dukungan rakyat terlebih umat Islam?

Jika Islam mayoritas di Indonesia (memang ini sebuah fakta) seharusnya secara garis lurus, harus sesuai dengan perolehan suara partai Islam di parlemen. Faktanya tidak. Mengapa?

Bila ini faktanya, berarti ada yang salah di umat Islam Indonesia. Bila ada yang salah dimana salahnya?

Mari kita berfikir sejenak. Partai Politik yang selalu memenangi pemilu ternyata partai sekuler. Bahkan cenderung berlawanan secara mainstream dengan umat Islam. Kita ambil contoh, PDIP beberapa kali memenangi pemilu pasca robohnya Orde Baru. Bahkan kini menjadi penguasa untuk kedua Kalinya serta memiliki peluang yang besar hingga ketiga kali. Padahal PDIP dipersepsikan partai yang memusuhi umat Islam. Dan banyak ustaz yang begitu bersemangat ‘menghabisi’ PDIP. Namun fakta politik, PDIP selalu keluar sebagai pemenangnya. Adakah yang salah dengan Umat Islam?

Contoh lain. Partai Demokrat ( PD ) besutan Jenderal SBY. Menjadi Penguasa 2 kali berturut turut. Bahkan pernah menjadi pemenang pemilu. Padahal PD tidak memiliki akar yang kuat secara basis akar rumput, terlebih terhadap basis ormas Islam yang mainstream. Adakah yang salah dengan umat Islam?

Kita lihat disisi lain,Partai Islam atau yang mengklaim berbasis umat Islam. Seperti PBB,PKB, dan PKS belum pernah menjadi pemenang pemilu. Bahkan PBB, partai yang mengklaim pewaris perjuangan masyumi yang legendaris, terpental dari parlemen pada pemilu 2014. Padahal PBB pendukung setia pemerintahan Pak SBY. Mengapa?

Fakta fakta sejarah Politik Islam di Indonesia ini, seharusnya menjadi perenungan serius dari para cendikia Muslim atau yang mengklaim para pemimpin Umat. Kekalahan demi kekalahan yang dialami oleh Umat Islam secara politik mengisyaratkan ada persoalan serius di Umat Islam. Yaitu sebagai Umat mayoritas tidak bergaris lurus dengan kekuasaan politik. Artinya Umat Islam di Indonesia hanyalah sekedar berpegang teguh pada ‘iman islam’ saja dalam pengertian yang sempit. Islam dipandang sebagai privasi pribadi, tidak boleh diekspos sebagai ‘kekuatan politik’. Barangkali jargon Islam Yes,Partai Islam no sebagaimana yang pernah populer di era caknur sangat tepat menggambarkan situasi kebatinan umat hingga sekarang.

Jika pandangan umat Islam masih bersifat ‘sekuler’,yaitu terpisahnya Politik dari ‘Iman Islam’, jangan berharap Partai Islam akan menjadi pemenang dalam pemilu di Indonesia. Jangan pula bermimpi partai Islam bisa mencalonkan Presiden sendiri. Sangat jauh panggang dari api.

Partai Islam harus berani mendekontruksi wawasan Ilmu Politik Umat. Sistem pengkaderan yang dibangun pun harus serius dan sistematis. Sudah bukan zamannya memelihara kader jenggot. Seperti yang sekarang banyak terjadi. Di kader di tempat lain,masuk dan memakai kendaraan partai yang lain. Prilaku seperti itu sangat merusak sistem kaderisasi partai sekaligus juga kaderisasi kepemimpinan nasional. Partai Islam harus berani menentukan musuh dan harus berani menentukan lawan. Artinya,partai Islam harus berani mendidik kader kadernya sebagai ideolog yang militan dan konsisten dalam perjuangan Umat.

Yang terjadi saat ini,partai Islam masih tidak pede menawarkan wawasan Ilmu Islam yang diyakini dan menjadi doktrin perjuangan. Yaitu wawasan Islam Rahmatan lil Alamin. Yang ada, malah tidak ada bedanya kader atau caleg Partai Islam dengan partai sekuler. Karena memegang prinsipnya sama : bersatu dalam kepentingan dan berpisah karena beda kepentingan.

Dari prinsip itulah, kita menyaksikan banyak politisi kutu loncat yang tidak berideologi. Tanpa malu pindah pindah partai. Sekarang partai A besok partai B. Sekarang jadi kawan, besok bersebrangan tapi sambil ngopi bareng. Sungguh, partai politik di Indonesia sangat menjemukan.

Partai Islam seharusnya mampu memberikan tawaran gagasan yang menarik,mencerahkan bahkan menggerakan kesadaran batin umat Islam. Kegagalan masyumi dalam majelis konstituante tahun 1955 harus menjadi pelajaran sejarah yang penting dalam merekontruksi perjuangan politik Umat Islam di Indonesia.

Untuk mengakhiri tulisan ini,saya teringat ucapan seorang profesor, segenggam kekuasaan lebih bermakna dibanding sederet gelar dibelakang nama kita. Kekuasaan memang dahsyat. Kapan umat Islam menjadi penentu di republik ini?

Loading...

Baca Juga