oleh

Dewan Pers dan Yayasan Pengelola Sarana Pers Nasional Diduga Korupsi Berjamaah

DETIKFAKTA – Dewan Pers periode 2006 sampai dengan 2019 serta Pengelola Yayasan Sarana Pers Nasional diduga melakukan korupsi berjamaah. Pernyataan tersebut disampaikan Ketua Koperasi Wartawan Reformasi Indonesia (KOWARI), Lemens Kodongan, yang disampaikannya via WA, Kamis (7/2/2019).

Dalam laporan yang disampaikan kepada para media, Lemens menceritakan kronologis dan dugaan korupsi yang dilakukan secara berjamaah tersebut.

“Adapun bentuk korupsi berjamaah adalah dengan melakukan penggelapan hasil sewa gedung dewan pers yang didapat dari para penyewa di gedung tersebut,” kata Lemens.

Padahal, lanjut Lemens, gedung dewan pers adalah gedung hasil sumbangan Asosiasi film Mandarin. Gedung tersebut diserahkan oleh Sudwikatmono selaku ketuanya, kepada Menteri Penerangan pada saat itu Ali Moertopo, pada tanggal 1 Maret 1982 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 1 Maret 1982.

Gedung Dewan Pers selanjutnya dikelola oleh sebuah yayasan yang didirikan oleh Yacob Oetama dan Harmoko. Melalui surat keputusan Menteri Penerangan pada saat itu.

“Jadi sejak tahun 1982 gedung dewan pers pengelolanya adalah yayasan pengelola Sarana pers nasional. Dan pada tahun 2006 Gedung Dewan Pers di tetapkan menjadi barang milik negara. Jadi yang kami permasalahkan adalah para pihak terkait yang diduga telah melakukan konspirasi korupsi berjamaah. Untuk melakukan perbuatan jahat melakukan penggelapan sewa gedung,” ujar Lemens.

Sebagai contoh, jelas Lemans, sejak tahun 2006 sudah tidak punya kewenangan mengelola gedung dewan pers. Maka Yayasan Pengelola Sarana Pers Nasional yang para pendirinya sebagian sudah meninggal dunia akhirnya membuat Yayasan baru. Yayasan tersebut didirikan pada tanggal 30 Maret 2017. Pengurusnya adalah para Mantan pegawai di Deppen dan Kominfo saat ini yang sudah pada pensiun.

Ketua yayasan bernama Lalu Sumiadi, Sekretaris Anita dan Bendahara Widodo. Pengawas Agus Azhar (Ketua) seorang pensiunan TVRI, anggotanya masing-masing Poltas Silalahi (pengacara) dan Watu. Pembina yayasan adalah Margiono (Mantan Anggota Dewan Pers) selaku Ketua. Bambang Subiantono, Ratna dan Samiran sebagai anggota Pembina. Informasinya Samiran sudah mengundurkan diri dari yayasan yang baru.

“Dewan Pers dan Pihak Yayasan diduga telah melakukan pengggelapan atas aset hasil sumbangan Asosiasi Film Mandarin yang seharusnya dipergunakan untuk kegiatan insan pers. Namun sebaliknya dijadikan sarana untuk memperkaya diri,” ujar Lemens Kodongan.

Hasil perhitungan kasar, negara mengalami kerugian miliaran rupiah dengan asumsi, penyewa digedung dewan pers ada 14 ruangan (khusus lantai 3 dan 5). Setiap ruang disewakan sebesar 30-40 juta pertahun. Sejak tahun 2006 seharusnya hasil sewa gedung sudah masuk kas negara.

Jika 14 penyewa membayar 30 juta pertahun maka akan didapat 420 juta selama setahun. Jika dikali dengan 12 tahun yakni sejak tahun 2006 hingga 2018, maka diprediksi setidaknya sejumlah 5 miliar lebih kerugian negara.

Bahkan yang lebih miris lagi, negara juga memberikan anggaran kepada Dewan Pers puluhan miliar setiap tahunnya.

“Sepengetahuan saya yang sudah berkantor selama 20 tahun di gedung dewan pers. Tidak pernah membaca di media atau papan pengumuman, ikhtisar laporan tahunan yayasan maupun ikhtisar laporan keuangan. Sebagaimana dimaksud pasal 52 Undang-undang nomor 28  tahun 2004. Tentang perubahan atas UU nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan,” ujar Lemans.

Menurut Lemas, sebagai sebuah lembaga publik, yayasan sarana pers nasional  dan dewan pers seharusnya memberi contoh yang baik, sebagai bentuk pertanggung jawaban kepada publik. Jangan disembunyikan. Jika tidak ada transparansi, maka publik menduga telah terjadi sesuatu yang mencurigakan didalam tubuh dewan pers dan yayasan tersebut.

Lemens berharap pihak Dewan Pers dan Yayasan melakukan keterbukaan informasi tentang pengelolaan gedung dewan pers agar publik dan insan pers menjadi jelas. (RHO)

Loading...

Baca Juga