oleh

Rezim Antitesa dan Orba, Sebuah Catatan Kecil Pojok Warung Kopi

Rezim Antitesa dan Orba, Sebuah Catatan Kecil Pojok Warung Kopi Ndéso. Oleh: Malika Dwi Ana, Pengamat Sosial Politik.

Motivator-motivator hebat sering mengatakan bahwa orang sukses itu selalu mencari cara agar sukses. Sedang orang yang gagal akan mencari berbagai alasan atas ketidak mampuannya. Hal ini berlaku pula untuk para pemimpin; pemimpin yang sukses tidak akan membawa-bawa kesalahan pemimpin terdahulunya, ia akan mencari cara agar tidak jatuh dalam blunder kesalahan yang sama dan lalu mencari cara memperbaikinya atau bahasa kerennya solusi komprehensif. Jadi tidak sekedar pointing finger.

Kenapa begitu, karena tidak akan ada selesainya jika mengungkit-ungkit kesalahan masa lalu tanpa berusaha memperbaikinya. Apalagi menutupi kinerja yang terbatas dengan berbagai macam isu, demonologi dan konflik tak berkesudahan.

Pola kampanye dengan menyalahkan kebijakan masa lalu itu sepertinya memang sudah jadi template rezim sekarang. Selain itu juga menggunakan dalih “mewarisi dosa masa lalu” sebagai dalih menghadapi kritik. Pokoknya yang jelek-jelek itu warisan masa lalu. Ambil contoh soal hutang LN (Luar Negeri), kebijakan impor, HGU (Hak Guna Usaha), Freeport, reklamasi dan lain-lain. Selain menggunakan dalih mewarisi dosa masa lalu, paradoksnya disaat yang sama memusuhi keluarga Soeharto. Sekaligus menggunakan cara-cara fasis untuk mempertahankan kekuasaan.

Rezim ini memang belum seperti Soeharto. Tetapi jika dibiarkan lebih lama, kelakuannya bisa sama. Petinggi-petingginya sudah tidak ada sungkannya untuk melakukan harassment terhadap musuh politiknya. Bagaimana tidak, beberapa waktu lalu presidennya sudah nyuruh kelahi, timsesnya juga menyuruh perang total. Lalu dipasanglah senjata penguasa untuk mengebiri hak berpendapat dengan UU ITE. Mendadak rasanya seperti balik ke jaman ORBA. Konon ini negara hukum, tapi realitasnya seperti kemunduran hukum demi penguasa.

Orde baru itu sejarah. Tidak bisa kita melihat hanya dengan kebencian. Justru yang penting adalah belajar dari kesalahan orde yang sudah lalu itu. Bukan soal Soeharto. Soal fasisme negara, fasisme yang harusnya tumbang saat reformasi 98. Mengutip pendapat Noam Chomsky; “Fasisme adalah pilihan terakhir dari kelas penguasa ketika mereka tidak bisa lagi mempertahankan hak-hak mereka”.

Fasis yang fanatik terhadap citra pemimpin adalah musuh terbesar dari masa depan yang cerah. Sejarah sudah membuktikannya berkali-kali. Dalam sejarah, Jerman, Jepang, dan Italia sudah kapok, sementara kita tidak bisa berhenti ketagihan rasa pedas, asem, pahit asin dari fasisme, atau… Kenapa kita selalu terbalik membaca buku sejarah dari belakang ke depan ya?

Reformasi bertujuan memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Lha, saiki kok mbalik manèh? Sekarang kok kembali lagi. Ini yang oleh Pustaka Wedha Sasangka dinarasikan sebagai “Sawo kecik nguwoh semangka, akibate semangka ceblok, pecah, mblabar banyu semangka kang warnané abang neng ngisoré wit Sawo Kecik mau.” Sawo kecil berbuah semangka, akibatnya semangka jatuh, pecah, mengalir air semangka yang warnanya merah di bawah pohon Sawo Kecik

Ngakunya rezim antitesa, tapi cara-cara orba yang diadopsi, yakni :
1. Kontrol media
2. Intimidasi rakyat
3. Kontrol instrumen pemerintah
4. Mau kembali ke Dwi Fungsi TNI-POLRI

Narasi sesat yang selama ini didengungkan adalah, mendukung petahana itu sama dengan Anti ORBA. Tetapi anehnya, semua partai warisan ORBA mendukung capres petahana. Maka ciri Orba mana lagi yang mau didustakan?

Soal menebar ketakutan atau fear mongering ini sudah mainan sejak pilkada. Soal “intoleransi, bigot, radikal”, sudah hapalan. “Indonesia akan seperti Suriah, akan seperti Afganistan….” Ditambah lagi soal fasisme dan orba. Jualannya melulu soal ketakutan. Jadi, rezim ini kurang orba bagaimana lagi?

Kita ini sedang membangun masyarakat demokratis. Syarat perlunya adalah, bebas dari ketakutan dibungkam penguasa. Dan syarat cukupnya adalah, kualitas dialektika dan tanggung jawab. Sejarah bicara, bahwa fasisme tidak akan dapat menumbuhkembangkan Pancasila, justru Pancasila akan menjadi (dijadikan) alat represi bahkan menjadi (dijadikan) dasar penjajahan elite terhadap proletarnya, itu sudah terbukti pada era orde baru. Yang bisa menumbuh kembangkannya hanyalah adat istiadat, yang entah mengapa kata Snouck Hurgronje, kedudukannya malah lebih tinggi dari hukum religius.

Rezim Antitesa, merasa diri Anti Orla, Anti Orba, Anti SBY, Anti Radikalisme, apa lagi? Yang jelas, musim hujan ada baiknya jualan payung sajalah. Anti basah!

Loading...

Baca Juga