oleh

Mengarah Pemilu Curang: Gambaran Petahana yang Panik

Mengarah Pemilu Curang: Gambaran Petahana yang Panik. Oleh: Miftah H. YusufpatiPenulis wartawan senior di Jakarta.

Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY menyelesaikan kepemimpinannya selama dua periode, 10 tahun, dengan husnul khotimah. Ia tidak neko-neko. Dan dia tidak mengupayakan gelar untuk dirinya. Beda dengan Joko Widodo alias Jokowi. Baru 4,5 tahun jadi presiden, bekas walikota Solo ini bakal mendapat gelar Bapak Pembangunan Desa. Acara penganugerahan gelar ini akan disematkan menjelang Pilpres 17 April nanti. Kini, kecurangan itu sedang direkayasa agar sebisa mungkin dalil pelanggaran terhadap UU Pemilu bisa dimanipulasi.

Penganugerahan gelar ini akan dilakukan dalam silaturahmi nasional kepala desa, perangkat desa, dan aparatur pemerintahan desa, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, dalam waktu dekat. Sudah pasti, ini adalah hajatan yang butuh dana besar. Selain duit, tentu dibutuhkan pula kecerdasan untuk menyiasati duit APBN. Kabar yang sudah beredar, para petinggi desa ini dibolehkan menggunakan dana desa setidaknya Rp3 juta per orang. Singkatnya, kades dan kepala kelurahan itu boleh menyunat dana desa yang sudah mereka terima dari pemerintah pusat.

Menteri Dalam Negeri, Tjahja Kumolo, disebut-sebut sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas acara ini. Namun demikian, Sekretaris Jenderal Kemendagri Hadi Prabowo membantah. Menurut dia, apel pemerintah desa se-Indonesia sekaligus pemberian gelar Bapak Pembangunan kepada Bapak Presiden Jokowi itu murni inisiatif Badan Koordinasi Nasional Pembangunan Pemerintahan Pemberdayaan dan Permasyarakatan Desa. “Bukan inisiatif pemerintah,” katanya. Hadi Prabowo menuturkan, Kemendagri mengapresiasi rencana kegiatan tersebut.

Bukti tertulis yang beredar luas di tengah masyarakat memang begitu. Berdasarkan salinan undangan yang beredar, acara tersebut diselenggarakan Bakornas P3KD bersama DPP Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi), DPP Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi), dan DPP Persatuan Perangkat Desa Seluruh Indonesia (PPDI). Jika sebagian kita baru mendengar nama-nama asosiasi yang perkumpulan itu, boleh jadi karena memang baru dimunculkan menjelang pilpres ini saja. Agar tidak lupa, silakan dibaca berulang-ulang. 

Pemberian gelar-gelaran versi Jokowi ini mengingatkan kita pada era Orde Baru, di saat Presiden Soeharto mendapatkan gelar Bapak Pembangunan. Kala itu, proses pemberian gelar itu tidak pendek. Tidak ujug-ujug. Gerakan ini dimulai pada akhir 1981 oleh Ali Moertopo, Menteri Penerangan, mengatasnamakan aspirasi rakyat Jawa Timur. Selanjutnya, Daniel Dhakidae dalam Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003) mencatat, sejak Oktober 1982 diedarkan lencana berbentuk bulat oleh para pemuda, bergambar Soeharto dengan latar belakang merah putih dan di pinggirnya terdapat tulisan “Soeharto Bapak Pembangunan Indonesia”.

Tak lama setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui TAP MPR RI Nomor V/MPR/1983 mengukuhkan Soeharto dengan gelar tersebut. Salah satu poin yang terdapat dalam ketetapan MPR itu berbunyi: “Bahwa rakyat Indonesia setelah menyaksikan, merasakan, dan menikmati hasil-hasil pembangunan, secara tulus ikhlas telah menyampaikan keinginannya untuk memberi penghargaan kepada Jenderal TNI (Purnawirawan) Soeharto Presiden Republik Indonesia, sebagai Bapak Pembangunan Indonesia.”

Gelar “Bapak Pembangunan Desa” untuk Jokowi boleh jadi tak akan sampai dibahas oleh anggota DPR dan DPD. Ya, cuma sampai di Stadion Utama Gelora Bung Karno saja. Lumayan, sama-sama di Senayan. Hanya saja, pubik jelas menduga bahwa gelar Jokowi ini diharapkan bergaung ke seluruh penjuru Nusantara sehingga bisa mendongkrak elektablitas sang petahana yang kini sedang terpuruk.

Di sisi lain, orang yang paham tentang sejarah dana desa tentu akan mencibir. Soalnya, dana desa itu merupakan amanat undang-undang yang lahir di era SBY. Saat UU itu dibuat, PDIP sebagai penyokong Jokowi, bahkan menolak dana desa 10% dari APBN. Maknanya, siapa pun presidennya, dana desa wajib ada. Terus di mana letak Jokowi sebagai pembangun desa?

Apa pun itu, apel para kepala desa adalah bagian dari gerakan politik para elit di Jakarta. Para pejabat pendukung petahana ini sudah panik menyaksikan angka-angka survei yang sejatinya. Angka-angka yang tidak untuk dipublish di media massa. Sedangkan angka survei lembaga bayaran yang dipublish itu adalah bagian dari kampanye untuk mendongkrat elektabilitas juga. Samalah dengan apel kepala desa itu.

Nah, soal survei ini ada rumor yang berkembang di kalangan wartawan senior. Dibilang rumor karena belum dapat dipastikan kebenarannya. Rumor itu hendaknya ditempatkan sejajar dengan desas-desus dan belum masuk pada level isu. Namun rumor ini jika terbukti akan menjadi isu yang dahsyat.

Konon Menteri Tjahjo Kumolo mengumpulkan petinggi dua lembaga top terkait penyelanggaran pemilu. Kedua lembaga ini diam-diam mendapat tugas melakukan survei. Pada hari itu Tjahjo ingin mendengar hasil akhir dari survei tersebut. Data pun dibuka. Seperti karung yang terkuras isinya, Tjahjo terduduk lesu. Kakinya menahan tubuhnya yang merosot dari sandaran kursi. Tangannya memegangi kepala. Tjahjo shock.  Capres Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno dalam survei itu memenangkan pilpres. Carpres Jokowi-Ma’ruf Amin keok. Angka perolehan petahana di bawah 50%.

Hasil survei ini diaminkan kondisi real di lapangan. Pada saat kampanye terbuka, massa pendukung Prabowo-Sandi selalu padat merayap. Saat Prabowo berampanye di Merauke ribuan orang menyambut. Begitu juga di Bali. Daerah yang dikenal sebagai kandang banteng ini mengelu-elukan Prabowo. Di NTB, massa menyemut, mengalir datang dari kampung-kampung dan gang-gang sempit. Mereka riuh meneriakkan Prabowo … Prabowo … Prabowo ….

Kondisi seperti itu tak terjadi pada kampanye sang petahana. Masyarakat enggan menghadiri acara Jokowi. Saat kampanye di Lapangan Jember Sport Garden, Jember, Jawa Timur, massa hanya terlihat ramai di depan panggung utama. Di belakang dan samping panggung utama hanya ada sedikit orang. Tribun penonton juga sepi. Termasuk arena sekeliling lapangan yang biasa digunakan untuk berlari.

Hal yang sama terjadi di Dumai, Riau. Masyarakat Dumai enggan mendatangi kampanye petahana. Akibatnya, panita “mengimpor” massa dari daerah lain. Kondisi itu tergambar dari deretan puluhan bus yang diparkir sepanjang jalan di dekat lokasi kampanye. Bus-bus itu berplat nomor Sumatera Utara.

Aura panik juga tergambar dari isi pidato kampanye petahana yang tidak berkembang. Dia, misalnya, menyindir Pabowo dan Sandi dalam hal yang ecek-ecek, soal pakaian.  “Kalau pake jas mahal, dan jas itu pakaian Eropa, Amerika. Orang Indonesia cukup pakai yang murah, baju putih, seperti yang sama pakai,” sindirnya dalam orasi kampanye terbuka di Kota Dumai Riau 25 Maret.

Jokowi seakan kehabisan bahan untuk mengejek pesaingnya. Omongan sang Petahana juga sering blunder. Ia, misalnya, mengajak pendukungnya untuk mengenakan baju putih saat datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada 17 April 2019 nanti. Tanpa disadari ajakan itu sangat berlebihan dan bisa menodai azas rahasia dalam pemilu.

Selanjutnya, pekik perlawanan terhadap hoaks dan fitnah atas dirinya yang dilontarkan di berbagai kesempatan juga menyimbolkan yang sama. Sang Petahana sering blunder. Lebih blunder lagi, lantaran omongan inkumben tersebut sering diikuti dicopy paste dan dikembangan oleh para menteri. Menko Polhukam, Wiranto, misalnya, melontarkan pernyataan penyebar hoaks akan dijerat pasar UU antiteroris. Itu hanya sedikit contoh saja.

Kembali ke soal apel kepala desa dan anugerah bapak pembangunan desa. Gerakan ini jelas bagian dari gerakan superpanik pendukung petahana. Gerakan ini terang-terangan melanggar UU Pemilu. Kepada desa yang ikut kampanye diancam dengan hukuman paling lama 1 tahun penjara dan denda Rp12 juta.

Jika Kemendagri meloloskan apel ini, maka mereka merestui pelanggaran itu. Kini publik sedang muak dengan hindangan kecurangan dan ketidakadilan.  ASN boleh saja terang-terangan mendukung dan mengkampanyekan capres 01, tapi akan ditangkap dan masuk bui bila sebaliknya. Percayalah, rakyat akan melawan tindakan-tindakan brutal itu nanti, di TPS.

Loading...

Baca Juga