oleh

Ketua FUIB: Perusahaan PLTU Tanjung Karang Harus Segera Ganti Rugi Lahan Rakyat

DETIKFAKTA.ID – Pembangunan Megaproyek PLTU Tanjung Karang berkapasitas 2×50 megawatt (MW) di kecamatan Tomilito, kabupaten Gorontalo Utara, provinsi Gorontalo. Diduga mengalami masalah. Hingga saat ini, masih ada proses ganti rugi lahan lokasi PLTU tersebut yang belum terbayarkan.

Selain itu, aparat pemerintah setempat yang semestinya menjadi penengah untuk penyelesaian antara rakyat selaku pemilik lahan dengan perusahaan. Malah diduga sengaja ikut bermain dan mempersulit rakyatnya sendiri untuk mendapatkan hak nya. Demi keuntungan pribadi mereka masing-masing.

Demikian dikatakan Khoirul Amin SH saat ditemui di kantor Lembaga Bantuan Hukum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam (LBH PP GPI). Di kawasan Menteng Raya 58, Jakarta Pusat, Sabtu (30/6/2019).

Khoirul Amin menjelaskan, bahwa lahan milik kliennya, Sarni Lasoma dan Sardi Lasoma. Serta Naser Tolinggi beserta saudara-saudaranya sampai saat masih belum terbayar.

“Perusahaan harus selesaikan segera hak-hak rakyat yang memiliki hak terhadap tanah. Yang saat ini telah dikuasai dan digunakan untuk PLTU Tanjung Karang,” kata Khoirul Amin.

Lanjutnya, PT Gorontalo Listrik Perdana (GLP) sebagai perusahaan terkesan mempersulit proses ganti rugi. Mereka beralasan selama ini kliennya tidak bisa menunjukkan bukti legalitas kepemilikan lahan. Jika kliennya menunjukan dokumen yang diminta, pihak perusahaan mengaku akan membayar ganti rugi.

“Perusahaan tahu persis kalau warga sangat jarang yang punya sertifikat. Mereka hanya punya Surat Keterangan Kepemilikan dan Penguasaan Tanah yang dibuat dan diterbitkan oleh Kepala Desa setempat. Secara hukum, dokumen itu sah dan legal,” tegas Khoirul Amin.

Pengacara muda yang juga menjabat sebagai Direktur LBH PP GPI ini juga menjelaskan, bahwa selain bukti Surat Keterangan Kepemilikan tersebut. Para kliennya juga memiliki bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

“Selain Surat Keterangan Kepemilikan, klien kami juga memiliki bukti bahwa mereka telah menguasai tanah tersebut berpuluh-puluh tahun. Dan mereka juga yang selama ini membayar pajak tanah tersebut kepada Negara,” ujar Khoirul Amin.

Khoirul Amin menambahkan, berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menegaskan seseorang yang menguasai fisik tanah selama kurun waktu 20 (dua puluh) tahun secara terus-menerus dapat mendaftarkan diri sebagai pemegang hak atas tanah tersebut.

”Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, maka sudah sangat jelas. Bahwa klien kami adalah orang yang paling memiliki hak terhadap tanah yang saat ini dikuasai oleh perusahaan PT Gorontalo Listrik Perdana dan dibangun PLTU Tanjung Karang tersebut,” ujarnya.

Khoirul Amin menambahkan, ada indikasi perusahaan bekerjasama dengan aparat pemerintah dan penegak hukum. Perusahaan diduga menggunakan cara-cara curang untuk membayar lahan dengan harga yang sangat murah kepada orang-orang yang tidak memiliki hak dan kaitan apapun dengan tanah tersebut.

“Kami menduga Perusahaan berkonspirasi dengan para aparat pemerintah daerah dan penegak hukum. Serta orang-orang yang disiapkan untuk mengaku-ngaku sebagai pemilik tanah. Tanpa bukti dan saksi yang valid. Itu hanya modus kejahatan saja. Agar perusahaan bisa membeli tanah tersebut dengan harga semurah-murahnya. Tanpa memperhitungkan nasib para pemilik yang sah secara hukum,” tutur Khoirul Amin.

Ia meminta kepada semua pihak, terutama aparat pemerintah untuk berpihak kepada rakyat kecil. Khoirul Amin juga meminta kepada aparat penegak hukum untuk benar-benar menjalankan tugasnya sebagai pelindung dan pengayom rakyat dan bukan malah sebalik. Sehingga rasa keadilan dapat dirasakan oleh rakyat.

“Intinya, kami minta dari mulai Kepala Desa sampai Bupati dan aparat penegak hukum, untuk berpihak dan jangan dzalim kepada rakyat kecil,” ujarnya.

Sementara itu aktivis nasional Rahmat Himran menyesalkan pembangunan megaproyek PLTU Tanjung Karang justru menyengsarakan rakyat. Sebagai putra asli Gorontalo, ia merasa miris melihat rakyat kecil tidak mendapatkan kepastian hukum. Terlebih lagi peristiwa tersebut terjadi di tanah kelahirannya.

“Saya sangat kecewa melihat rakyat kecil terdholimi. Apalagi terjadinya di tanah kelahiran saya,” kata Rahmat Himran.

Ketua Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) ini meminta agar permasalahan ganti rugi lahan segera diselesaikan dengan baik secara kekeluargaan. Menurutnya, rakyat sudah bersedia berkorban untuk kepentingan yang lebih besar. Seharusnya pemerintah memberikan perhatian khusus agar hak-hak mereka dipenuhi.

“Rakyat kan sudah mau mengalah lahannya dipakai PLTU. Jangan dipersulit atau malah diakali. Ini jelas kedholiman. Kami mendesak pemerintah, Bupati dan DPRD untuk segera menyelesaikan permasalahan ini. Kalau tidak, resistensinya akan semakin tinggi,” tegas Rahmat Himran.

Ia juga menyoroti pemakaian Tenaga Kerja Asing (TKA) Cina dalam pembangunan PLTU Tanjung Karang. Menurutnya, tak sepantasnya PT Gorontalo Listrik Perdana menggunakan TKA Cina. Karena tenaga kerja pribumi di Gorontalo juga masih banyak yang menganggur, terutama para pemilik tanah yang dipakai untuk PLTU.

“Kalau masalah pekerjaan yang membutuhkan skill khusus, mungkin bisa dimengerti. Tapi kalau pekerjaan yang jelas-jelas mudah, untuk apa pakai tenaga asing? Masa untuk pasang bata saja pakai tenaga asing? Rakyat pribumi banyak yang menganggur, kenapa Proyek PLTU Tanjung Karang pakai TKA Cina. Proyek ini mensejahterakan atau penjajahan kepada pribumi?” ujar Rahmat Himran.

Ia mendesak agar Bupati Gorontalo Utara segera mengambil sikap atas semua persoalan ini. Sebagai sebagai kepala daerah, Bupati harus bertanggung jawab atas sengketa lahan yang terjadi. Rahmat Himran mengingatkan, segala pembangunan di suatu daerah, harus bermanfaat untuk rakyat di daerah tersebut. Jika tidak, untuk apa diadakan pembangunan.

“Bupati Gorontalo Utara harus bertanggung jawab atas sengketa lahan pembangunan PLTU Tanjung Karang. Jika proyek ini tidak memberikan manfaat kepada rakyat, maka bubarkan saja,” tutup Rahmat Himran. (DVD)

Loading...

Baca Juga