oleh

Ditengah Wabah Impor Semakin Menggila, Opini Yuyu Yunengsih

Ditengah Wabah Impor Semakin Menggila

Oleh: Yuyu Yunengsih S.Pd (Pemerhati Politik)

Potensi kekayaan alam Indonesia sangat luar biasa, baik sumber daya alam hayati maupun nonhayati. Bisa dibayangkan, kekayaan alamnya mulai dari kekayaan laut, darat, bumi dan kekayaan lainnya yang terkandung di dalam bumi Indonesia tercinta ini tak terhitung jumlahnya. Namun di sisi lain, hal yang sangat bertolak belakang , isu ketahanan pangan menjadi salah satu yang disoroti di tengah wabah saat ini, Indonesia dinilai belum mampu menciptakan daulat pangan virus corona. Sebab beberapa pihak memprediksi wabah corona ini juga berpotensi menimbulkan krisis pangan.

Ekonom senior INDEF Faisal Basri, mengatakan kurangnya pasokan pangan, terlihat dari impor yang terus dilakukan untuk beberapa komoditas pangan. Padahal lahan pertanian Indonesia cukup luas.

Menurut Faisal Basri, impor  pangan Indonesia dari China cukup besar. Jangankan untuk bahan pangan pokok seperti beras, Faisal membeberkan Indonesia juga impor sayur dan buah dari China. Bahkan untuk sayur hampir 67,5%. Hal tersebut diperkuat pernyataan, Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian ( Kementan) Prihasto Setyanto mengatakan, angka tersebut didominasi oleh komoditas sayur-sayuran yang pasokannya memang masih perlu dibantu oleh impor, seperti bawang putih dan kentang industri..

Terlebih lagi yang juga miris Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) mengatakan, terjadi kenaikan kebutuhan garam di 2020, yang tadinya hanya berkisar 3 juta – 4,2 juta ton kini menjadi 4,5 juta ton..

Negara sebesar Indonesia sudah seyogianya punya strategi yang namanya energy security, food security, dan health security. Sangat menyedihkan jika negara sebesar Indonesia 90% bahan bakunya dari luar negeri untuk industri obat, sama juga alat kesehatan mayoritas dari luar negeri,” ungkap Erick melalui live streaming di akun Instagram miliknya, Kamis (16/4/2020).

Pernyataan Menteri BUMN, Erick Thohir, diperkuat Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. Ia mengungkapkan penyebab Indonesia sangat ketergantungan impor bahan baku obat dan alat kesehatan (alkes). Porsi impor barang tersebut mencapai 90% dibandingkan yang bisa dipenuhi dalam negeri. Bahlil menjelaskan kondisi tersebut memang sengaja diciptakan dengan tidak membangun industrinya di dalam negeri, seperti dilansir detikfinance.com

Mencermati kebijakan tersebut, sejatinya impor bahan pangan terlalu mengkhawatirkan. Bukan hanya ketergantungan bawang putih, gula, ataupun kentang. Hampir mayoritas pasokan pangan Indonesia berasal dari impor.

Ada 29 bahan impor yang dilakukan Indonesia sejak 2013. Beras yang diimpor dari Thailand, Vietnam, India, Pakistan, Myanmar dan lainnya. Ada pula jagung yang berasal dari Brasil, India, Argentina. Kedelai dari Amerika, biji gandum dari Australia, tepung terigu dari Srilanka, India, gula pasir, dan masih banyak lainnya.

Dengan kebijakan yang memudahkan impor, ketahanan pangan nasional Indonesia terancam. Negeri yang kaya dengan kesuburan tanahnya malah mengimpor produk pangan dari negara lain. Menyedihkan.

Sementara lahan pertanian justru diubah menjadi gedung-gedung perkantoran, perumahan, industri, dan pariwisata. Keseimbangan alam terganggu, komoditas pangan terancam, dan nasib petani pun mulai terpinggirkan.

Di tengah semrawutnya pengelolaan pangan nasional, kebijakan tumpang tindih juga turut menambah kesemrawutan pangan. Untuk menjaga ketahanan pangan, Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, mengatakan pemerintah tak akan membatasi ekspor pertanian.

Satu sisi ekspor dilakukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan pendapatan petani. Di antara ekspor tersebut berupa tanaman hortikultura berupa sayur-sayuran dan buah-buahan tropis serta hasil perkebunan seperti minyak kelapa sawit (CPO), kopi, kakao dan teh.

Di sisi lain, kementerian perdagangan membuka impor seluas-luasnya untuk komoditas pangan yang diklaim rendah produksinya. Impor dan ekspor dalam waktu yang bersamaan di tengah pandemi. Ekspor pertanian, tapi impor pangan. Dua kebijakan bertolak belakang dari dua kementerian.

Kementan ingin Indonesia meningkatkan produksi ekspor dengan mengurangi impor. Sedangkan kemendag justru menderaskan impor untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hal ini menunjukkan komunikasi dan kebijakan pemerintahan Jokowi membingungkan.

Semestinya fakta ini menjadi evaluasi besar bagi pemerintah. Sudah sejauh mana upaya negara meningkatkan produktivitas petani lokal agar tak kalah saing dengan produk luar (impor)? Seberapa besar perhatian negara dalam melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan hasil pertanian?

Ekspor pertanian akan menjadi sia-sia manakala impor pangan masih besar. Ketahanan pangan nasional inilah yang tidak menjadi prioritas kebijakan. Pemerintah hanya berpikir pertumbuhan ekonomi ketimbang kebutuhan dasar rakyat yang wajib dipenuhi.

dalam pandangan Islam, tidak dilihat dari aspek barang yang diperdagangkan, tetapi dilihat dari orang yang melakukan perdagangan. Bila negara kafir harbi, diperbolehkan melakukan perdagangan dengan negara Islam dengan visa khusus, baik yang terkait dengan diri maupun harta mereka. Kecuali harbi fi’lan, tidak boleh ada hubungan perdagangan dengan mereka sama sekali. Seperti Israel, AS, Inggris, Rusia, dan lainnya.

Demikianlah, Islam memberikan seperangkat sistem yang komprehensif dalam mengatasi pangan. Tidak seperti kapitalisme wallahu alam bissawab!

Loading...

Baca Juga