oleh

Utang Luar Negeri Membahayakan Kedaulatan NKRI. Opini Suwida Tahir

Utang Luar Negeri membahayakan Kedaulatan NKRI. Oleh: Suwida Tahir, S. Pd, Pemerhati Sosial Politik.

Seiring penanganan wabah, utang Luar Negeri Indonesia semakin membubung tinggi. Baik untuk deficit anggaran periode sebelumnya atau mengalokasikan secara efisien untuk membiayai rakyat di masa pandemi.

Bank Indonesia (BI) mencatat pembengkakan utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir April 2020 menjadi sebesar USD 400,2 miliar atau Rp ‭5.694 triliun (estimasi kurs 14.228 per dolar AS). Utang tersebut terdiri dari Utang Luar Negeri sektor publik atau Pemerintah dan bank sentral sebesar USD 192,4 miliar dan Utang Luar Negeri sektor swasta, termasuk BUMN sebesar USD 207,8 miliar.

Utang Luar Negeri Pemerintah meningkat, setelah pada bulan sebelumnya mengalami kontraksi. Posisi Utang Luar Negeri pemerintah pada akhir April 2020 tercatat sebesar USD 189,7 miliar atau tumbuh 1,6 persen, berbalik dari kondisi bulan sebelumnya yang terkontraksi 3,6 persen.

Baik utang pemerintah maupun swasta, keduanya memberikan dampak yang buruk terhadap perekonomian nasional apabila porsinya tidak seimbang alias terlalu besar.

Dampak buruk utang pemerintah yang terlalu besar adalah beban dari APBN. Artinya kemampuan negara untuk membayar utang tersebut. Bila utang suatu negara besar dan melampaui rasio yang aman, maka bisa menimbulkan default (gagal bayar).

Kalau sudah begini, negara bisa dibilang bangkrut di mata internasional, dan tidak ada yang mau memberikan pinjaman, kalaupun ada negara yang memberikan pinjaman (utang), maka biayanya pun menjadi mahal, karena negara yang menerima utang harus memberikan bunga yang lebih tinggi.

Ironinya lagi selama ini pemerintah berutang untuk membayar utang, sehingga persoalan utang luar negeri yg berbunga ini tak kunjung lunas dari generasi ke generasi.

Inilah Dampak dari negeri yang perekonomian nya mengandalkan pajak dan utang, padahal faktanya negeri indonesia adalah negeri yg kaya akan sember daya alam, jika saja negara memposisikan diri sebagai operator yang bertanggung jawab secara langsung mengelola SDA untuk dijadikan salah satu pemasukan APBN demi pelayanan kebutuhan rakyat, namun sayang negara saat ini mencukupkan diri hanya berperan sebagai regulator.

Utang Luar Negeri yang makin menumpuk bisa membawa negeri kehilangan kedaulatan dan menjadi alat penjajahan ekonomi. Kebijakan Negara berpotensi makin jauh dari pemenuhan kemaslahatan rakyat tapi dikendalikan oleh kepentingan asing. Hal ini selaras dengan apa yang pernah disampaikan oleh John Perkins, seorang penulis asal Amerika Serikat (AS) dalam buku pengakuannya yang pertama, Confession Of an Economic Hit Man (2004) Perkins menyebut dirinya sebagai bandit ekonomi yang bekerja di perusahaan konsultan MAIN di Boston, AS. Buku kedua (2007), berbicara tentang sepak terjangnya di Indonesia.

Tugas pertama Perkins adalah membuat laporan untuk IMF dan World Bank (Bank Dunia) agar mengucurkan utang luar negeri kepada dunia ketiga, termasuk Indonesia. Sebagai ekonom utama di MAIN, ia juga merekomendasikan jumlah utang yang harus disalurkan IMF dan World Bank, disisi lain syaratnya pemerintah yang mengutang harus memberikan proyek ‘pembangunan’ ke kontraktor-kontraktor AS dengan porsi terbesar dari utang tersebut.

Tugas kedua, Perkins membangkrutkan negara pengutang, setelah tersandera dengan utang yang menggunung barulah mereka meminta ‘balas jasa’ dengan misalnya mendukung kebijakan AS, membuka pangkalan militer AS di negara pengutang atau memaksa negara-negara pengutang menjual ladang-ladang minyak mereka kepada perusahaan MNC milik negara-negara barat dan kepentinga lain mereka.

Ini adalah pengakuan yang patut dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan utang luar negeri demi menjaga kedaulatan negara indonesia.

“Ini Kenyataan yang Harus diterima Pelebaran defisit tanpa Batas Maksimal dalam Perppu 1/20 Pada akhirnya berpotensi membahayakan kedaulatan negara karena beban Utang Pemerintah sangat besar bahkan Melampaui Ratio Utang standar Internasional Yang di tetapkan sejumlah Lembaga Keuangan dunia seperti IMF,” ujar Kamrussamad.

Legislator Dapil Jakarta ini menambahkan, indikator kerentanan utang pemerintah telah melampaui rekomendasi IMF dalam International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411. Rasio-rasio yang melampaui batas aman antara lain rasio debt service terhadap penerimaan, rasio bunga utang terhadap penerimaan, dan rasio utang terhadap penerimaan”.

Tanpa disadari, kita terlalu banyak meminta, sementara yang dipinta tak akan mungkin bisa memberi. Kita meminta Negara, dalam hal ini adalah Pemerintah untuk mengurus dan mengatur rakyat, dan memenuhi semua hajat hidup rakyat. Tapi sistem kapitalisme yang diadopsi Indonesia mengharuskan Negara berlepas tangan dalam mengatur hajat hidup rakyatnya.

Dalam sistem kapitalisme, negara hanya berperan sebagai regulator, yang mengatur agar terjadi keselarasan antara kepentingan rakyat dan kepentingan pengusaha. Negara berperan mencegah agar tidak terjadi konflik antara rakyat dan pengusaha. Tapi faktanya, yang dimaksud mencegah konflik itu adalah dengan cara negara lebih mengedepankan kepentingan pengusaha.

Oleh karena itu, sebenarnya tidak ada pilihan lain selain kembali kepada sistem Islam dalam semua urusan termasuk dalam sistem ekonominya sebab islam memberikan aturan yang jelas dalam hal ini.

Asas-asas sistem ekonomi Islam ada tiga, yaitu kepemilikan , pengelolaan kepemilikan, distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat.

Islam memiliki asas ekonomi yang jelas yang mampu mensejahterakan rakyat dengan penjaminan kebutuhan pokok tanpa memandang ras ataupun agama warga negaranya, semua warga negara memiliki hak yang sama dalam penjaminan kebutuhan pokok yang tidak hanya berupa sandang,pangan, papan, tapi juga kesehatan, keamanan & pendidikan yang wajib dijamin oleh negara.

Loading...

Baca Juga