DETIKFAKTA.ID– Di sudut Jakarta yang jarang tersorot, sebuah keluarga besar di RW 04, RT 04 Sukapura, Cilincing, kini menghadapi ancaman yang bisa mengubah hidup mereka dalam sekejap: pemutusan listrik. Jika esok pagi listrik benar-benar dipadamkan, maka enam keluarga, termasuk tiga balita yatim dan seorang nenek renta, akan terjerumus ke dalam gelap, tanpa harapan.
Dengan suara bergetar, Ibu Sumarni (55) menceritakan kegelisahannya.
Ia sudah 25 tahun menetap di tempat ini, menjaga rumah peninggalan ayahnya yang dulu diperintahkan untuk mengawasi lingkungan sekolah. Kini, ia terancam kehilangan bukan hanya penerangan, tetapi juga rasa aman yang selama ini ia perjuangkan.
“Kasihan balita dan nenek, Pak. Kalau listrik dimatikan, bagaimana kami? Gelap gulita, tidur pun tak tenang. Ini bukan sekadar lampu padam, ini kehidupan kami yang dipertaruhkan!” tuturnya dengan mata berkaca-kaca. Kepada detikfakta.id, di kediamannya RW 04 /RT 04, Sukapura, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, Minggu (9/3/2025).
Bantuan yang Ada, Harapan yang Goyah
Bukan tanpa bantuan, sesekali pihak kelurahan datang, melalui Ibu Narti dan tenaga kesehatan seperti Ibu Lesti. Mereka membawa sembako, obat-obatan, dan perhatian singkat. Namun, yang benar-benar melekat di hati warga adalah sosok Pak Rahman—seorang tokoh yang tak hanya datang memberi, tetapi juga peduli.
“Pak Rahman itu baik, sering datang bawa sembako, bahkan rumah kami pernah direnovasi sedikit. Dia juga peduli dengan nenek, sering tanya kabar, kasih beras kalau kami butuh. Tapi sekarang, beliau pun tak bisa berbuat banyak,” ungkapnya lirih.
Namun, perhatian dari individu baik hati seperti Pak Rahman tak cukup untuk menyelesaikan masalah yang lebih besar. Pemutusan listrik bukan sekadar kehilangan penerangan—ini soal hak dasar, tentang bagaimana warga bisa menjalani hidup dengan layak.
Dilema Rusun: Harapan atau Jebakan?
Pemerintah pernah menawarkan solusi: pindah ke rumah susun (rusun). Namun, bagi Ibu Sumarni dan keluarga lainnya, ini bukan sekadar pindah tempat, melainkan pertaruhan hidup.
“Kami disuruh pindah, tapi bagaimana kalau nanti nggak mampu bayar? Kalau nggak bisa bayar, pasti diusir. Terus kami harus ke mana? Kembali ke jalanan? Hidup di rusun bukan gratis, sedangkan di sini, meski sederhana, kami bisa bertahan,” keluhnya.
Keputusan sulit ini menjadi beban berat bagi warga yang telah puluhan tahun mengakar di lingkungan ini. Mata pencaharian mereka ada di sini, hidup mereka berputar di gang-gang kecil yang kini terancam gelap.
Terancam Gelap, Berharap Cahaya
Di tengah kekhawatiran yang semakin menyesakkan, satu hal yang kini paling mendesak bagi warga Sukapura adalah listrik. Tanpa itu, anak-anak tak bisa tidur nyenyak, nenek tak bisa bertahan, dan kehidupan mereka semakin jauh dari kata layak.
“Kami hanya ingin hidup seperti orang lain, Pak. Tak minta mewah, hanya ingin lampu tetap menyala, agar anak-anak kami tak tumbuh dalam gelap,” kata Ibu Sumarni dengan suara parau.
Kini, harapan mereka ada di tangan pemerintah, para pemimpin, dan siapa saja yang masih memiliki kepedulian. Apakah mereka akan tetap dibiarkan meraba dalam gelap, atau akan ada secercah cahaya yang menyelamatkan mereka sebelum semuanya terlambat? (ANW)