DETIKFAKTA.ID – Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) dinilai menjadi akar berbagai kegaduhan hukum yang terjadi baik di era reformasi maupun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Praktisi hukum dan pengacara senior, Elvan Gomes, menyatakan bahwa amandemen tersebut telah melemahkan posisi UUD 45 sebagai dasar hukum tertinggi yang seharusnya menjadi acuan dalam tata kelola negara.
“Amandemen UUD 45 secara perlahan melumpuhkan fungsi konstitusi sebagai rujukan utama dalam pembentukan undang-undang dan peraturan. Akibatnya, muncul berbagai permasalahan hukum yang kompleks, mulai dari kasus Pemilu, kasus Perkasa, kasus Lembong, hingga kasus donasi,” ungkap Elvan dalam diskusi publik di Jakarta, Selasa (3/12/2024).
Ia juga menyoroti persoalan kedaulatan negara yang semakin terancam akibat perubahan konstitusi tersebut. Elvan menjelaskan bahwa lemahnya posisi UUD 45 membuka ruang bagi intervensi asing dan oligarki dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam proses Pemilu dan Pilkada.
“Saat ini kita melihat bagaimana kekuatan negara asing berperan dalam politik kita. Contoh konkretnya adalah klaim China terhadap zona ekonomi eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara yang terus mengganggu kedaulatan maritim kita. Situasi ini menunjukkan lemahnya posisi hukum kita dalam melindungi kedaulatan negara,” tegas Elvan.
Lebih lanjut, Elvan mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dominasi oligarki yang merampas hak-hak rakyat dan mengabaikan kedaulatan bangsa.
“Oligarki telah mengambil alih banyak sektor strategis, dan itu terjadi karena lemahnya kontrol hukum yang seharusnya didasarkan pada UUD 45. Kita perlu mengembalikan konstitusi ke fungsi utamanya, yaitu melindungi kedaulatan negara dan hak-hak rakyat di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” katanya.
Elvan mendesak adanya evaluasi menyeluruh terhadap amandemen UUD 45, yang menurutnya lebih banyak membawa dampak negatif daripada positif. Ia mengusulkan agar dilakukan revisi terhadap pasal-pasal bermasalah dan memastikan bahwa UUD 45 kembali menjadi dasar hukum yang kokoh dan tidak multitafsir.
“Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka stabilitas hukum, politik, dan ekonomi kita akan semakin terancam. Kita harus segera melakukan langkah koreksi untuk menyelamatkan bangsa ini,” tutup Elvan.
Diskusi tersebut dihadiri oleh berbagai kalangan, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat sipil, yang sepakat bahwa langkah konkret diperlukan untuk memulihkan fungsi UUD 45 sebagai dasar hukum tertinggi. (ANW)