DETIKFAKTA.ID – Pengadilan Negeri Jakarta Utara kembali menjadi sorotan setelah sidang kasus pencemaran nama baik yang melibatkan Razman Arif Nasution dan Iqlim Putri berujung pada kegaduhan besar. Insiden yang terjadi pada 6 Februari 2025 itu berbuntut panjang, dengan Ketua PN Jakarta Utara, Ibrahim Palino, melaporkan Razman dan tim kuasa hukumnya ke Mabes Polri atas dugaan membuat gaduh di ruang sidang.
Laporan yang terdaftar dengan No. LP/B/70/II/2025/SPKT/Bareskrim Polri tersebut menjerat Razman Cs dengan Pasal 335 KUHP (perbuatan tidak menyenangkan), Pasal 207 KUHP Penghinaan terhadap Penguasa atau Badan Publik ( Gestelde macht of openbaar lichaam), serta Pasal 217 KUHP (membuat gaduh di ruang sidang). Barang bukti berupa rekaman video telah diserahkan ke pihak kepolisian.
Namun, laporan tersebut memicu perdebatan di kalangan publik dan praktisi hukum. Pemicu utama insiden ini adalah keputusan majelis hakim yang menetapkan sidang pemeriksaan saksi Hotman Paris berlangsung tertutup, yang ditolak oleh Razman dan tim kuasa hukumnya. Mereka menilai langkah tersebut tidak sesuai dengan prinsip keterbukaan dalam peradilan pidana.
Praktisi hukum,H.Hulia Syahendra, S.H., M.H., mempertanyakan dasar hukum keputusan majelis hakim yang menetapkan sidang tertutup dalam perkara ini. Menurutnya, Pasal 153 ayat (3) KUHAP secara tegas menyatakan bahwa persidangan harus terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara yang berkaitan dengan kesusilaan.
“Perkara ini adalah pelanggaran Undang-Undang ITE, bukan perkara kesusilaan. Oleh karena itu, keputusan hakim menutup sidang patut dipertanyakan dan berpotensi melanggar ketentuan KUHAP. Ini bisa menjadi preseden buruk bagi sistem peradilan di Indonesia,” ujar Hulia. Disampaikan melalui pesan tertulis, kepada detikfakta.id, Selasa (11/2/2025)
Lebih lanjut, Hulia juga menyoroti penggunaan Pasal 207 KUHP dalam laporan terhadap Razman Cs. Ia mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022-PUU/IV/2006 yang menyatakan bahwa pasal tersebut adalah delik aduan.
Dengan demikian, laporan yang dibuat oleh Ketua Majelis Hakim dalam kasus ini tidak memenuhi unsur delik, karena berdasarkan putusan MK, penghinaan terhadap penguasa, atau Badan Publik (Gestelde macht of openbaar lichaam)
harus dilaporkan langsung oleh pihak yang merasa dirugikan, bukan atas dasar pendelegasian perintah dari atasan.
“Dalam kasus ini, laporan yang dibuat Ketua Majelis Hakim didasarkan pada perintah dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yang menerima perintah dari Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta, yang juga mendapatkan instruksi dari Ketua Mahkamah Agung. Ini berarti laporan tersebut bukan murni delik aduan, melainkan hasil dari pendelegasian perintah. Jika demikian, maka unsur delik dalam Pasal 207 KUHP tidak terpenuhi,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Mahkamah Agung telah menginstruksikan agar para advokat yang terlibat dalam insiden ini juga diproses secara etik oleh organisasi profesi mereka.
Kini, publik terpecah dalam menyikapi kasus ini. Apakah tindakan Razman Nasution Cs layak dianggap sebagai penghinaan terhadap lembaga peradilan, atau justru ini adalah bentuk perlawanan terhadap keputusan yang dinilai melanggar hak-hak terdakwa?
Sidang ini bukan hanya mempertaruhkan nasib Razman, tetapi juga menjadi ujian bagi sistem peradilan Indonesia. Akankah hukum ditegakkan dengan adil, atau ada kepentingan lain yang bermain di balik layar? (ANW)